Pilkada Tahun 2024 | Pemilu Tahun 2024

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Membangun Kepemimpinan yang Berintegritas untuk Menguatkan Budaya Kerja Penyelenggara Pemilu

Penyelenggaraan pemilu bukan hanya soal teknis tahapan dan manajemen logistik. Di balik seluruh proses demokrasi yang kita jalankan, terdapat fondasi yang jauh lebih mendasar: kepemimpinan yang berintegritas, budaya kerja yang sehat, serta komitmen kolektif untuk melayani publik dengan sepenuh hati. Sebagai Ketua KPU Kabupaten Karawang, saya percaya bahwa kualitas kepemimpinan di lingkungan penyelenggara pemilu bukan diukur dari jabatan atau kewenangan, melainkan dari nilai-nilai yang menggerakkan setiap langkah kami. Ada empat nilai kepemimpinan yang saya yakini sangat relevan dalam konteks KPU hari ini, yaitu: Integrity, Intelligence, Initiative, dan Intimacy. Keempat nilai ini bukan hanya konsep, tetapi harus menjadi standar perilaku individu dan budaya lembaga. Integrity, Fondasi Kepercayaan Publik Integritas adalah nafas dari penyelenggaraan pemilu. Tanpa integritas pribadi dan kelembagaan, seluruh kerja keras teknis akan kehilangan makna. Di KPU Kabupaten Karawang, integritas kami wujudkan dalam berbagai bentuk: Keterbukaan informasi kepada publik melalui website, media sosial, dan publikasi resmi setiap tahapan. Kepatuhan pada regulasi tanpa pengecualian, termasuk dalam proses seleksi badan adhoc, verifikasi dokumen pencalonan, hingga rekapitulasi suara. Penjagaan independensi dari segala bentuk intervensi politik maupun kepentingan eksternal. Integritas bukan hanya soal tidak melakukan pelanggaran. Integritas adalah pilihan untuk tetap berada pada rel yang benar, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Intelligence, Kemampuan Memahami, Mengelola, dan Mengantisipasi Pemilu bukan sekadar agenda lima tahunan; ia adalah operasi kompleks yang menuntut kemampuan berpikir strategis, pemecahan masalah, dan adaptasi cepat. Nilai Intelligence bagi kami berarti: memahami dinamika demografi Karawang yang terus berubah, membaca potensi kerawanan di tiap kecamatan, mengelola data pemilih dengan ketelitian tinggi, serta mengantisipasi tantangan teknologi dalam pemilu modern. Sebagai contoh, dalam pemutakhiran data pemilih, kami memastikan penggunaan basis data yang selalu diperbarui, supervisi melekat ke PPK dan PPS, serta penerapan mekanisme cross-check untuk meminimalisasi kesalahan data. Kecermatan dan ketepatan ini adalah wujud nyata dari kepemimpinan berbasis intelligence. Initiative, Bergerak Lebih Dulu, Bertindak Lebih Cepat Penyelenggara pemilu tidak boleh bersifat reaktif. Kami harus proaktif dan selalu satu langkah di depan. Nilai Initiative di KPU Kabupaten Karawang tercermin dalam: penyusunan mitigasi risiko tahapan yang dilakukan sebelum potensi masalah muncul, pendampingan lebih awal kepada badan ad hoc melalui bimbingan teknis, serta inovasi pelayanan publik seperti ruang konsultasi tatap muka dan layanan informasi cepat via kanal digital. Salah satu contoh inisiatif yang kami lakukan adalah penguatan literasi kepemiluan bagi pemilih pemula, bukan hanya menjelang pemilu, tetapi dilakukan secara berkesinambungan melalui kerja sama dengan sekolah dan perguruan tinggi. Dengan inisiatif ini, KPU Karawang ingin memastikan bahwa pendidikan demokrasi tidak menunggu momentum, tetapi berjalan sepanjang waktu. 4. Intimacy, Kedekatan yang Membangun Rasa Aman Dalam ilmu kepemimpinan modern, intimacy bukan soal kedekatan personal, melainkan kemampuan pemimpin menciptakan rasa aman, keterbukaan, dan kepercayaan. Di KPU Kabupaten Karawang, intimacy kami bangun melalui: komunikasi internal yang terbuka dan saling menghargai, ruang diskusi yang aman bagi staf dan badan ad hoc untuk menyampaikan pendapat, kepemimpinan yang tidak berjarak dan bersedia turun langsung ke lapangan. Ketika staf, PPK, dan PPS merasa aman untuk berbicara, apalagi dalam situasi tekanan pemilu maka keputusan yang dihasilkan akan lebih jernih dan akurat. Intimacy membuat kita mampu bekerja sebagai satu ekosistem yang saling mendukung.   Integritas Pribadi dan Integritas Lembaga: Dua Hal yang Saling Menguatkan Sering kali orang berpikir bahwa integritas lembaga cukup dijaga melalui sistem dan aturan. Padahal, integritas lembaga tidak akan berdiri tanpa integritas pribadi orang-orang di dalamnya. Kami di KPU Kabupaten Karawang terus membangun budaya: disiplin dan profesionalisme, saling mengingatkan dalam kebaikan, keberanian menolak intervensi, dan komitmen menjalankan tugas dengan setia. Setiap individu, mulai dari komisioner hingga staf, memegang peran penting sebagai penjaga marwah lembaga. Integritas bukan hanya urusan pimpinan; integritas adalah milik kita bersama.   Budaya Kerja: Dari Nilai Menjadi Kebiasaan Keempat nilai yaitu: Integrity, Intelligence, Initiative, dan Intimacy, harus terwujud dalam budaya kerja sehari-hari. Budaya ini kami terapkan melalui: rapat evaluasi yang rutin dan terbuka, pola koordinasi yang rapi dengan PPK/PPS, penghargaan terhadap kinerja yang baik, serta pembiasaan menjaga komunikasi yang etis dengan seluruh pemangku kepentingan. Dengan membangun budaya kerja yang sehat, kita menyiapkan pondasi kuat bagi penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas di masa depan.   KPU Kabupaten Karawang akan terus berkomitmen menjalankan nilai-nilai Integrity, Intelligence, Initiative, dan Intimacy dalam setiap langkah, demi mewujudkan pemilu yang luber, jurdil, dan dipercaya publik. Karena pada akhirnya, legitimasi demokrasi berawal dari kepercayaan masyarakat dan kepercayaan itu hanya bisa tumbuh melalui kepemimpinan yang berintegritas. Mari Fitriana Ketua KPU Kabupaten Karawang 

Data Pemilih Bukan Sekadar Angka

Data pemilih memiliki peran yang sangat strategis dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Bagi KPU Kabupaten Karawang, data pemilih bukan sekadar angka yang tertulis dalam tabel, melainkan merupakan dasar utama dalam merancang, melaksanakan, serta mengevaluasi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Data pemilih menjadi fondasi penting dalam pemetaan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Melalui data yang akurat, KPU dapat menentukan jumlah dan lokasi TPS secara proporsional sesuai dengan sebaran penduduk dan karakteristik wilayah. Dengan demikian, setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan mudah dan terlayani dengan baik. Selain itu, data pemilih juga berperan besar dalam perencanaan dan distribusi logistik pemilu maupun pilkada. Jumlah surat suara, bilik, kotak suara, serta perlengkapan pendukung lainnya seluruhnya dihitung berdasarkan data pemilih yang valid dan mutakhir. Tanpa data yang akurat, efisiensi dan ketepatan distribusi logistik akan sulit tercapai. Lebih jauh, data pemilih memungkinkan KPU untuk memetakan kelompok pemilih disabilitas agar kebutuhan aksesibilitas di TPS dapat terpenuhi dengan baik. Fasilitas ramah disabilitas menjadi bagian penting dari komitmen KPU untuk mewujudkan pemilu yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh warga negara. Aspek lain yang tak kalah penting adalah segmentasi usia pemilih. Dengan mengetahui komposisi usia, KPU dapat merancang strategi sosialisasi dan pendidikan pemilih yang lebih efektif dan tepat sasaran. Pendekatan untuk pemilih muda tentu berbeda dengan pendekatan untuk kelompok usia lanjut, sehingga pemahaman mendalam terhadap data menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, data pemilih tidak dapat dipandang hanya sebagai kumpulan angka statistik. Data tersebut merupakan representasi nyata dari masyarakat Karawang yang beragam, dinamis, dan memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Melalui pengelolaan data yang cermat, berintegritas, dan berkelanjutan, KPU Kabupaten Karawang berkomitmen memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ahmad Subhi Ketua Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Kabupaten Karawang

Pemuda Hari Ini Pahlawan Demokrasi Untuk Masa Depan

Belum lama ini bangsa Indonesia memperingati dua hari besar nasional, yaitu Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Kedua hari tersebut memiliki nilai historis penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, menjadi bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Kedua hari bersejarah yang memiliki jarak rentang waktu tersebut, memiliki benang merah dalam menggambarkan sisi peran pemuda di era sebelum dan pasca kemerdekaan. Melihat pada sejahrahnya, Hari Sumpah Pemuda lahir dari semangat perjuangan kaum muda bangsa Indonesia, untuk menyatukan kekuatan demi kemerdekaan negara Indonesia. Tepatnya pada Kongres Pemuda II di Jakarta, tanggal 27-28 Oktober 1928, yang dihadiri oleh berbagai perwakilan organisasi pemuda, seperti PPPI, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Ambon, dan Pemoeda Kaoem Betawi. Sementara itu, Hari Pahlawan diperingati sebagai bentuk penghormatan atas aksi heroik perjuangan rakyat Indonesia (masyarakat Surabaya) dalam pertempuran selama tiga minggu yang dimulai pada 10 November 1945. Sutomo (Bung Tomo) yang saat itu berusia 25 tahun, menjadi salah satu tokoh kunci perjuangan lewat pidatonya di Lapangan Banteng, Surabaya, yang juga disiarkan melalui saluran radio berhasil membakar semangat “arek-arek Suroboyo”. Berkaca dari dua peristiwa bersejarah tersebut, peran pemuda menjadi salah satu bagian penting dalam membentuk tatanan masyarakat dan negara. Begitu pula saat ini di tengah arus persingan ekonomi global yang kompetitif, dan percaturan geopolitik dunia yang sangat mentukan arah kebijakan suatu negara dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, pemuda harus tampil dan mengambil peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengutip apa yang diungkapkan oleh Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19, dalam salah satu puisinya: “The worst illiterate is the political illiterate, he doesn’t hear, doesn’t speak, nor participates in the political events. He doesn’t know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions. The political illiterate is so stupid that he is proud and swells his chest saying that he hates politics. The imbecile doesn’t know that, from his political ignorance is born the prostitute, the abandoned child, and the worst thieves of all, the bad politician, corrupted and flunky of the national and multinational companies.” “Buta terburuk adalah buta politik. Ia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Ia tidak tahu biaya hidup, harga kacang, ikan, tepung, sewa, sepatu, dan obat-obatan, semuanya bergantung pada keputusan politik. Buta politik begitu bodoh sehingga ia sombong dan membusungkan dada, mengatakan bahwa ia membenci politik. Orang dungu tidak tahu bahwa dari ketidaktahuan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, politisi yang buruk, korup, dan antek perusahaan nasional dan multinasional.” Oleh karena itu, penting bagi generasi muda saat ini untuk ikut serta mengawal jalannya demokrasi. Hal tersebut untuk menjalankan salah satu amanat perjuangan Reformasi 1998 yang digaunkan oleh aktivis dan mahasiswa, dimana kebebasan masyarakat dalam bersuara dan menentukan arah kebijakan negara dapat dijamin melalui sebuah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan atas nama rakyat, demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran Generasi Muda dan Hak Suara Menurut UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 hingga 30 tahun. Batasan usia ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tersebut. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan, usia pemuda atau young people adalah 10-24 tahun, sementara usia remaja (adolescents) adalah 10-19 tahun. Istilah youth (pemuda) dan adolescents (remaja) sering digunakan secara bergantian, tetapi WHO secara spesifik mendefinisikan pemuda sebagai individu berusia 10-24 tahun. Berdasarkan hasil pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Karawang pada Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024, tercatat sebanyak 51,20 persen pemilih berasal dari kategori Generasi Z (17-24 tahun) dan Milenial (25-39 tahun), dengan masing-masing berjumlah 316.746 dan 594.268 pemilih. Sementara 48,80 persen sisanya terdiri dari Generasi X (40-55 tahun) dengan jumlah 570.809 pemilih, Baby Boomer (56-76 tahun) sebanyak 274.150 pemilih, dan Lansia (>76 tahun) berjumlah 23.234 pemilih. Secara nasional, pemilih dalam DPT Pemilu 2024 berdasarkan data yang dirilis KPU RI pada 10 Juli 2023, dari total pemilih sebanyak 204.807.222, sebanyak 22,85 persen merupakan pemilih Generasi Z dan 33,60 persen pemilih Milenial. Sedangkan pemilih Generasi X sebanyak 28,07 persen, Baby Boomer 13,73 persen, dan Pre-Boomer (Lansia) 1,75 persen. Sedangkan berdasarkan rentang usia, pemilih berusia 17-30 tahun mencapai 31,23 persen, pemilih berusia 31-40 tahun mencapai 20,70 persen, dan sisanya sebanyak 48,07 persen merupakan pemilih berusia lebih dari 40 tahun. Sementara pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Karawang serta Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (Pemilihan Serentak) Tahun 2024, tercatat pemilih di Kabupaten Karawang kategori Generasi Z sebanyak 290.928 (16,15 persen), Milenial 605.568 pemilih (33,61 persen), Generasi X 580.564 pemilih (32,22 persen), Baby Boomer 283.795 pemilih (15,75 persen), dan Lansia 41.015 pemilih (2,28 persen). Dari data-data tersebut, peran generasi muda di Kabupaten Karawang maupun di daerah-daerah lainnya di Indonesia dalam hal ini Generasi Z dan Milenial yang memiliki irisan usia pemuda dalam menentukan hasil Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 sangat besar. Sehingga penting disadari bahwa kesuksesan pesta demokrasi di Indonesia tidak lepas dari keterlibatan para pemuda, dalam mengawal demokrasi dan kontestasi politik baik di daerah maupun nasional. Salah satunya dengan menggunakan hak pilih untuk memilih para calon di Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024, dalam upaya mewujudkan pemerintahan baru di tingkat daerah maupun nasional yang lebih baik dari sebelumnya. Mengutip apa yang disampaikan oleh Angota KPU RI, Agus Melaz saat menghadiri Seminar Nasional Kepemiluan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali, pada tahun 2022 yang lalu. “Pemilu tidak hanya peran KPU sebagai penyelenggara, namun membutuhkan peran dan partisipasi dari semua pihak di seluruh Indonesia. Pemilu dianggap sebagai sarana integrasi bangsa, maka ini merupakan kesadaran bersama bahwa pemilu itu menjadi agenda nasional yang melibatkan setiap bentuk tanpa meninggalkan yang lainnya”. “KPU menggunakan pemanfaatan teknologi dalam Pemilu dan Pemilihan. Pemilih muda fasih menggunakan teknologi digital diajak ikut membantu KPU dengan mengambil bagian menjadi Anggota KPPS, misalnya dari jumlah tujuh anggota KPPS, minimal satu dari mahasiswa yang membantu demi kelancaran Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024”. Dari apa yang disampaikan oleh Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU RI tersebut, terdapat pesan penting bahwa generasi muda khususnya mahasiswa jangan hanya menjadi pengamat dan komentator dalam pesta demokrasi nasional maupun daerah, melainkan harus mengambil peran sebagai motor pembaharuan demokrasi dalam kerangka pelaksanaan pemilu dan pemilihan. Namun sayangnya, hal tersebut tidak sejalan dengan partisipasi generasi muda di tingkatan ujung tombak penyelenggara, yakni Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dari data yang dimiliki Sub-Bagian Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia (Parmas-SDM) KPU Kabupaten Karawang, jumlah generasi muda dalam rentang usia 17-30 tahun hanya berjumlah 7-8 persen, sisanya 93-92 persen masih didominasi oleh masyarakat berusia di atas 30 tahun dari total 6.890 TPS di Pemilu 2024 dan 3.793 TPS pada Pemilihan Serentak Tahun 2024. Sementara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), keterlibatan pemuda (usia =<30 tahun) pada Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 sebesar 33-35 persen, sementara 67-65 persen sisanya berusia di atas 30 tahun. Dari total PPK berjumlah 150 orang yang tersebar di 30 kecamatan, rata-rata usia PPK di Kabupaten Karawang adalah 40 tahun. Sedangkan untuk Panitia Pemungutan Suara (PPS), pemuda yang terlibat sebanyak 30 persen dari total 927 orang yang tersebar di 309 desa dan kelurahan. Sementara sisanya sebanyak 70 persen berusia di atas 30 tahun, dengan rata-rata usia 40 tahun. Perjuangan Demokrasi dari Ruang Akademis Berbagai upaya dalam membangun ruang demokrasi yang lebih luas dijalankan oleh KPU RI dan KPU-KPU di daerah, termasuk oleh KPU Kabupaten Karawang. Salah satunya lewat kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih di berbagai kampus negeri dan swasta dengan menggandeng mahasiswa. Langkah tersebut merupakan bagian dari kesadaran terhadap sejarah perjuangan bangsa, dimana generasi muda (salah satunya mahasiswa) selalu menjadi garda terdepan perubahan tatanan sosial masyarakat maupun pemerintahan di Indonesia. Ruang-ruang diskusi yang digalakan pemuda terbukti dapat melahirkan gerakan-gerakan perjuangan yang membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, mulai dari era kolonialisme yang melahirkan Boedi Utomo pada 20 Mei 1908 (dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional), sampai lahirnya gerakan Reformasi 1998 yang merubah sistem pemerintahan dan demokrasi di Indonesia saat ini. Sejalan dengan hal tersebut, diskusi di ruang akademis melahirkan berbagai kerangka pemikiran yang disurakan mahasiswa dalam bentuk narasi dan tindakan kritis terhadap tata aturan pelaksanaan demokrasi dan pemerintahan, salah satunya geliat terhadap judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun yang terdapat pengecualian bagi individu yang sedang/pernah dipilih dalam pemilu termasuk kepala daerah, maka batas usia minimal tersebut tidak berlaku. Atau pada perkara 154/PUU-XXIII/2025 dimana Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak permohonan uji materi yang mengusulkan agar syarat pendidikan minimal bagi calon presiden, calon wakil presiden, calon anggota legislatif, dan calon kepala daerah dinaikkan menjadi lulusan sarjana (S-1). Kedua gugatan tersebut sama-sama diajukan oleh mahasiswa sebagai bukti nalar kritis terhadap aturan kepemiluan di Indonesia, terlepas dari masing-masing kontroversi yang mewarnai keputusan-keputusan tersebut. Kegiatan diskusi yang dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa di ruang-ruang akademis, berhasil membuka pikiran generasi muda melihat demokrasi bukan hanya sekedar momentum pemilihan pejabat publik, melainkan makna demokrasi yang lebih dalam mengenai kebebasan berpendapat, berkelompok, menentukan arah kebijakan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Hal tersebut seperti pesan tersirat yang digambarkan oleh Bertolt Brecht, agar tidak ada lagi individu yang buta politik dan mengakibatkan satu kelompok menghegemoni kebijakan negara. Kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), dan lain sebagainya, menjadi laboratorium demokrasi dengan penyelenggaraan berbagai kegiatan diskusi bahkan debat calon yang dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dengan mengangkat teme-tema yang relevan dan isu-isu strategis yang dihadapi saat ini dan di masa mendatang. Harapan adanya perbaikan kehidupan demokrasi di Indonesia, mampu di jawab oleh generasi muda bukan hanya dengan protes dan aksi massa, melainkan juga melalui kajian ilmiah dalam ruang akademis yang mencerahkan. Di Kabupaten Karawang, kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih dilaksnakan di berbagai kampus dengan menggandeng mahasiswa, seperti di Universitas Singaperbangsa Karawang, Universitas Buana Perjuangan, Universitas Sehati Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Budi Pertiwi. Termasuk di sekolah-sekolah menengah tingkat atas, sebagai upaya memberikan pendidikan demokrasi sejak dini bagi para pemilih pemula, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan Pemilihan. Berdasarkan penetapan hasil Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024, diketahui tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Karawang pada Pemilu 2024 mencapai 82 persen. Sementara pada Pemilihan Serentak (Pilkada) Tahun 2024, partisipasi pemilih mencapai 74,09 persen. Capaian tersebut tentu bukan hanya hasil dari sosialisasi KPU kepada masyarakat, namun juga terdapat peran generasi muda sebagai pemilih, penyelenggara, juga peserta (calon). Partisipasi Pemuda dalam Kontestasi Politik Sejumlah generasi muda turut mengambil peran dalam kontestasi politik di tahun 2024, baik sebagai calon anggota legislatif maupun eksekutif. Sedikitnya, ada 10 anggota DPR RI periode 2024-2029 yang berusia di bawah 30 tahun saat terpilih dalam Pemilu 2024 lalu (sumber: CNBC Indoneisa). Annisa Maharani Alzahra Mahesa, politisi dari Partai Gerindra tersebut merupakan anggota DPR RI termuda dari Daerah Pemilihan (Dapil) Banten II, dan terpilih saat masih berusia 23. Ada pula Cindy Monica Salsabila Setiawan, politikus Partai NasDem yang terpilih saat berusia 24 tahun dari Dapil Sumatera Barat II. Serta Hillary Brigitta Lasut, politisi Partai Demokrat dari Dapil Sulawesi Utara, terpilih di usia 28 tahun. Sebelumnya ia juga pernah terpilih pada Pemilu 2019, dari Partai NasDem dan menjadi anggota DPR RI diusia 22 tahun. Di Dapil Jawa Barat VII yang meliputi Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi dan Purwakarta, Verrel Bramasta berhasil mencuri perhatian publik. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengawali karirnya dari dunia entertainment sebagai penyanyi, model  dan pemain sinetron tersebut berhasil menjadi anggota DPR RI 2024-2029 saat berusia 28 tahun. Sementara itu, publik tertuju pada sosok Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo yang mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden di usia 36 tahun. Terlepas dari berbagai kontroversi dan dinamika politik yang mewarnai proses pencalonannya akibat putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, ia berhasil menjadi Wakil Presiden Indonesia ke-14 mendampingi Presiden Prabowo Subianto. Dalam kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Serentak Tahun 2024, juga tidak luput dari pembuktian para pemuda dalam kontestasi politik. Salah satunya Vinanda Prameswat yang berhasil terpilih sebagai Walikota Kediri, Jawa Timur, diusia 26 tahun dan merupakan kepala daerah termuda yang dilantik oleh Presiden Prabowo pada 20 Februari 2025. Selain itu, ada Bupati Kabupaten Bekasi, Ade Kuswara Kunang yang berusia 31 dan Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution yang berusia 33. Di Kabupaten Karawang, berdasarkan data yang dimiliki KPU, dari total 690 calon anggota legislatif DPRD Kabupaten Karawang pada Pemilu 2024, terdapat 111 calon atau 16,09 persen masuk kategori pemuda (usia =< 30 tahu), dimana empat orang diantaranya terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Karawang periode 2024-2029. Sementara sebanyak 579 calon atau 83,91 persen berusia di atas 30 tahun. Dengan rata-rata usia calon legislatif DPRD Kabupaten Karawang 42 tahun. Keempatnya adalah Ahmad Sofyan Junaedi Putra, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berusia 24 tahun. Ia menjadi anggota DPRD Kabupaten Karawang, terpilih dari Dapil Karawang 5. Selanjutnya Muhammad Topan Megantara, politisi Partai Golkar berusia 27 tahun dan Sugih Laksana Futra, politisi PKS berusia 27 tahun, keduanya terpilih dari Dapil Karawang 1. Serta Iqbal Jamalulail, politisi Partai Gerindra berusia 27 tahun, dari Dapil Karawang 2. Meski secara statistik keterpilihan generasi muda (Gen Z dan Milenial) berusia di bawah 30 tahun masih sangat minim jika dibandingkan dengan generasi di atasnya, namun keberadaan meraka patut mendapat apresiasi sebagai wujudnyata eksistensi para pemuda di kancah perpolitikan nasional dan daerah. Dengan harapan keberadaan para politisi muda tersebut dapat menjadi penyeimbang, dan varian lain yang dapat menjadi saluran aspirasi masyarakat khususnya generasi muda. Masa Depan Demokrasi di Tangan Pemuda Mengutip pribahasa Arab “Syubbanul yaum rijalul ghad”, pemuda hari ini pemimpin masa depan. Peran generasi muda khususnya pemuda dalam pembangunan demokrasi Indonesia yang lebih baik dari waktu ke waktu sangatlah penting. Oleh karena itu, kesadaran terhadap peran dan tanggungjawab sebagai warga negara dalam setiap momentum demokrasi (dalam hal ini kontestasi politik di Pemilu dan Pemilihan), perlu diimplementasikan para pemuda secara nyata, dengan melibatkan diri menjadi agent of chance dalam peran sebagai pemilih, penyelenggara, peserta, atau sebagai individu di tengah-tengah masyarakat yang memberikan nilai pendidikan politik ke masyarakat di sekitarnya. Jika kesadaran tentang hal tersebut muncul secara kolektif dan masif di dalam diri para pemuda, maka di masa mendatang akan banyak muncul tokoh-tokoh muda yang hebat seperti Jenderal Sudirman, Sutomo (Bung Tomo), WR Supratman, Sutan Sjahrir, Ibrahim Datuk Sutan Malaka (Tan Malaka), Sayuti Melik, Muhammad Yamin, dan lain sebagainya. Pemuda hari ini akan memastikan perjalanan estafet kepemimpinan di daerah dan nasional berjalan dengan baik, demokratis, dan berlandaskan Pancasila. Serta mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045. “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu pemuda dapat mengubah dunia”, apa yang diungkapkan Bung Karno (Ir. Soekarno), Presiden Pertama Indonesia, lewat kalimat tersebut memiliki pesan penting bahwa pemuda memiliki kekuatan besar untuk melakukan perubahan dalam berbagai hal, termasuk menjadi pahlawan demokrasi untuk masa depan bangsa dan negara. Dan pada akhirnya, semua kembali pada pemahaman pribadi para generasi muda masing-masing mengenai makna demokrasi sesungguhnya, dan sejauh mana demokrasi penting untuk diperjuangkan. Putra Muhammad Wifdi Kamal Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Kabupaten Karawang

KPU dan Kepastian Hukum dalam Penyelenggaraan Pemilu

Pemilihan umum merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi modern. Melalui pemilu, rakyat menyalurkan kedaulatannya untuk menentukan wakil dan pemimpin yang akan mengelola pemerintahan. Namun, agar pemilu benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat, prosesnya harus dijalankan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Prinsip ini hanya dapat terwujud jika penyelenggara pemilu berintegritas dan sistem hukumnya tegak serta konsisten. Dalam konteks inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memegang peranan penting. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak hanya bertanggung jawab atas tahapan teknis, tetapi juga memastikan bahwa setiap proses berjalan sesuai ketentuan hukum, menjunjung tinggi asas keadilan, dan menghormati hak konstitusional setiap warga negara. Hukum Sebagai Dasar Penyelenggaraan Pemilu Hukum menjadi fondasi utama dalam penyelenggaraan pemilu. Tanpa hukum, pemilu kehilangan arah dan maknanya sebagai sarana kedaulatan rakyat. Aturan hukum pemilu mengatur seluruh aspek penyelenggaraan, mulai dari pembentukan lembaga penyelenggara, tahapan pemilu, tata cara pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, hingga penetapan hasil dan penyelesaian sengketa. Prinsip rule of law menegaskan bahwa setiap tindakan penyelenggara pemilu harus berpijak pada ketentuan hukum yang berlaku. Artinya, KPU tidak dapat bertindak berdasarkan kepentingan atau penafsiran sepihak, melainkan semata-mata sesuai peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum inilah yang menjamin bahwa pemilu tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial. Tanggung Jawab Konstitusional KPU Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menegaskan bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kemandirian tersebut merupakan amanat konstitusi untuk memastikan bahwa KPU bebas dari intervensi pihak mana pun dalam menjalankan tugasnya. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang, KPU memikul tanggung jawab besar dalam memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai prinsip hukum dan demokrasi. Kewenangan tersebut mencakup penyusunan serta penetapan peraturan pelaksanaan pemilu yang sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu secara transparan, profesional, dan akuntabel, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, KPU juga berkewajiban menjamin terpenuhinya hak pilih dan hak dipilih bagi seluruh warga negara sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Kewenangan tersebut harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran hukum. Setiap kebijakan dan keputusan yang diambil penyelenggara pemilu tidak hanya berdampak pada aspek administratif, tetapi juga memengaruhi stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap demokrasi. Kepastian Hukum dan Dinamika Regulasi Pemilu Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah dinamika regulasi kepemiluan yang terus berkembang. Perubahan undang-undang, penyesuaian terhadap perkembangan politik, serta tuntutan zaman menuntut KPU untuk selalu adaptif tanpa mengabaikan prinsip kepastian hukum. Dalam menghadapi dinamika tersebut, KPU harus mampu menafsirkan dan menerapkan norma hukum secara tepat agar setiap tahapan pemilu berjalan konsisten dan tidak menimbulkan multitafsir. Karena itu, penyusunan peraturan pemilu dilakukan secara hati-hati melalui konsultasi, harmonisasi, dan uji publik agar setiap regulasi dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik. Kepastian hukum juga menjadi pedoman utama dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu. Mekanisme pengujian keputusan KPU oleh Mahkamah Konstitusi merupakan bagian penting dari sistem checks and balances yang memperkuat legitimasi hasil pemilu dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Integritas Penyelenggara Sebagai Pilar Utama Kepastian hukum tidak akan bermakna tanpa integritas penyelenggara. Hukum memang memberi batas dan arah, tetapi integritaslah yang memastikan batas itu tidak dilanggar. Karena itu, KPU menempatkan nilai-nilai integritas, profesionalitas, dan netralitas sebagai prinsip utama dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Setiap penyelenggara pemilu harus menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki konsekuensi hukum dan etika. Kepatuhan terhadap peraturan bukan sekadar bentuk ketaatan administratif, melainkan wujud tanggung jawab moral kepada masyarakat dan negara. Integritas menjadi modal utama bagi penyelenggara pemilu untuk menjaga kepercayaan publik. Pemilu yang dijalankan dengan menjunjung hukum dan etika akan menghasilkan legitimasi politik yang kuat, stabilitas demokrasi yang terpelihara, serta rasa percaya yang tumbuh di hati rakyat. Penutup KPU bukan sekadar penyelenggara pemilu, melainkan penjaga hukum dan etika demokrasi. Setiap keputusan dan tindakan yang diambil mencerminkan prinsip negara hukum yang menempatkan keadilan dan kepastian sebagai landasan utama. Dalam konteks demokrasi Indonesia, hukum dan KPU adalah dua unsur yang saling menguatkan. Hukum memberikan arah dan legitimasi, sementara KPU memastikan prinsip tersebut terwujud dalam praktik. Sinergi keduanya menjamin bahwa kedaulatan rakyat benar-benar diwujudkan melalui proses yang terbuka, adil, dan bermartabat. Melalui penyelenggaraan pemilu yang berlandaskan hukum dan dilaksanakan dengan integritas, KPU dapat meneguhkan perannya sebagai lembaga yang tidak hanya menyelenggarakan pemilu, tetapi juga menjaga marwah demokrasi dan kepercayaan rakyat terhadap negara.   Kasum Sanjaya Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Karawang

Analisis Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Peningkatan Partisipasi Masyarakat (Voter Turnout)

Partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu indikator utama keberhasilan demokrasi. Tingginya partisipasi pemilih bukan hanya mencerminkan kesadaran politik warga negara, tetapi juga menjadi ukuran legitimasi politik terhadap sistem dan lembaga penyelenggara pemilu. Dalam konteks Indonesia, Pemilu dan Pilkada berfungsi sebagai sarana utama bagi warga untuk menyalurkan hak politiknya sekaligus memperkuat kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2, yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Namun, tingkat partisipasi pemilih tidak selalu stabil. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi nasional dalam beberapa dekade terakhir mengalami fluktuasi. Pada Pemilu 2014, partisipasi tercatat sebesar 75,11%, meningkat menjadi 81,97% pada Pemilu 2019. Sementara itu, Pilkada Serentak 2015 mencatat partisipasi 69%, meningkat menjadi 76,09% pada Pilkada Serentak 2020, meskipun pelaksanaannya dilakukan dalam situasi pandemi COVID-19 yang membatasi ruang gerak sosial dan politik masyarakat (KPU RI, 2021). Peningkatan ini menjadi anomali menarik: bagaimana mungkin partisipasi meningkat di tengah kondisi krisis dan pembatasan sosial yang ketat? Kondisi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi pemilih tidak hanya dipengaruhi oleh faktor struktural seperti regulasi dan logistik pemilu, tetapi juga oleh faktor non-struktural seperti kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara, efektivitas kampanye, sosialisasi politik, dan kondisi psikologis masyarakat. Dalam hal ini, peran KPU sebagai penyelenggara pemilu sangat krusial — tidak hanya memastikan terselenggaranya pemungutan suara secara jujur dan adil, tetapi juga membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat secara berkelanjutan melalui kegiatan Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih (Sosdiklih) serta program kampanye yang terarah dan inklusif. Untuk menjawab tantangan tersebut, KPU kemudian mengembangkan Indeks Partisipasi Pemilu/Pilkada (IPP) sebagai alat ukur baru untuk menilai partisipasi masyarakat secara lebih komprehensif. Berbeda dengan voter turnout yang hanya menilai kehadiran pemilih di TPS, IPP memperhitungkan keterlibatan masyarakat pada seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu — mulai dari registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, hingga pendidikan pemilih dan partisipasi sosial politik. Dengan demikian, IPP berfungsi sebagai instrumen analitik dan kebijakan untuk mengukur sejauh mana masyarakat tidak hanya hadir, tetapi juga terlibat secara sadar dalam proses demokrasi. Pemodelan Pengukuran Hubungan Antarvaariabel dan Prediksi Terhadap Voter Turnout (VTO) Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif-komparatif menggunakan metode supervised learning dan algoritma Linear Regression. Data diambil dari Indeks Partisipasi Pemilu/Pilkada (IPP) tahun 2024 mencakup 518 daerah dan diperluas menjadi 5.000 baris melalui jitter augmentation. Analisis dilakukan pada variabel IPP: Registrasi Pemilih, Pencalonan, Kampanye, dan Sosdiklih. Hasil pemodelan menggunakan metode supervised learning dan algoritma Linear Regression menunjukkan hubungan yang sangat kuat antara variabel-variabel pembentuk Indeks Partisipasi Pemilu/Pilkada (IPP) terhadap tingkat Voter Turnout (VTO). Nilai koefisien determinasi (R² = 0,9842) menunjukkan bahwa sekitar 98,42% variasi partisipasi pemilih dapat dijelaskan oleh lima variabel IPP, yaitu registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, sosialisasi dan pendidikan pemilih (Sosdiklih) Nilai Mean Absolute Error (MAE) sebesar 0,008 dan Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 0,01 menandakan tingkat kesalahan prediksi yang sangat rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa model IPP yang digunakan mampu memberikan estimasi yang hampir identik dengan data empiris aktual. Ketika diuji dengan algoritma pembanding seperti Random Forest, XGBoost, dan Support Vector Regression, dan K-Nearest Neighbors (KNN) hasilnya menunjukkan konsistensi tingkat akurasi di atas 80%, namun model regresi linear tetap menjadi yang paling optimal karena stabilitas hasil dan kemudahan interpretasi koefisiennya. Dari 4 variabel yang dianalisis, yaitu Registrasi Pemilih, Pencalonan, Kampanye, dan Sosdiklih, Kampanye dan Sosdiklih muncul sebagai dua faktor paling dominan yang berkontribusi terhadap peningkatan voter turnout. Hasil ini memperkuat teori partisipasi politik yang menekankan pentingnya stimulus informasi, pendidikan politik, dan komunikasi elektoral sebagai determinan utama perilaku memilih (Verba, Schlozman, & Brady, 1995). Kampanye merupakan variabel dengan pengaruh paling tinggi terhadap tingkat partisipasi. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Rizky (2024) yang menunjukkan bahwa kampanye digital memiliki koefisien pengaruh 0,387 terhadap partisipasi pemilih muda pada Pilkada Semarang, menjelaskan sekitar 17,8% variasi dalam keputusan untuk menggunakan hak pilih. Kampanye yang efektif bukan sekadar intensitas komunikasi, tetapi juga kualitas pesan dan kredibilitas sumber informasi. Studi Rambe et al. (2025) di Sumatera Utara menegaskan bahwa kampanye yang bersifat informatif, inklusif, dan berbasis literasi politik dapat memperkuat partisipasi warga secara berkelanjutan, terutama jika diimbangi dengan keterbukaan peserta pemilu terhadap isu-isu publik yang relevan. Lebih lanjut, Lubis et al. (2025) menyoroti peran alat peraga kampanye (APK) dan media visual dalam menarik perhatian pemilih muda, laki-laki, dan berpendidikan tinggi di Kota Medan. Penelitian tersebut menemukan bahwa persebaran APK yang strategis dan pesan yang mudah dipahami dapat membentuk awareness yang berujung pada peningkatan niat memilih (intention to vote). Dengan demikian, kampanye dapat dianggap sebagai bentuk “pendidikan politik tidak langsung”, karena melalui interaksi informasi publik, masyarakat membangun persepsi rasional terhadap kandidat, partai, dan proses politik secara keseluruhan. Variabel kedua yang berpengaruh besar terhadap partisipasi adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih (Sosdiklih). Meskipun memiliki pengaruh lebih rendah dibanding kampanye, variabel ini berperan fundamental dalam membentuk kesadaran politik jangka panjang. Penelitian Pratiwi et al. (2025) menilai bahwa program KPU Goes to Campus dan KPU Goes to School berhasil meningkatkan literasi politik dan rasa memiliki terhadap demokrasi di kalangan pemilih muda di Sumatera Selatan. Program ini dinilai efektif ukan hanya karena sifatnya informatif, tetapi juga karena memberikan pengalaman partisipatif (experiential learning) bagi peserta. Sementara itu, Noprianto et al. (2025) dari Universitas Negeri Gorontalo menemukan bahwa kegiatan pendidikan politik yang berkelanjutan, baik melalui KPU maupun mitra lembaga pendidikan, berdampak pada peningkatan kualitas partisipasi, tidak hanya dari sisi kuantitas kehadiran, tetapi juga pemahaman dan motivasi pemilih. Namun, tidak semua penelitian menunjukkan hasil positif. Alqoroni et al. (2025) dan Halilah (2022) menemukan bahwa pengaruh sosialisasi formal masih terbatas jika tidak disertai dengan pendekatan yang kontekstual dan interaktif. Mereka menilai bahwa faktor eksternal seperti minat politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan lingkungan sosial seringkali lebih menentukan dibanding sekadar sosialisasi formal yang bersifat satu arah. Dengan demikian, efektivitas Sosdiklih sangat bergantung pada desain kegiatan, metode komunikasi, serta tingkat keterlibatan masyarakat yang dilibatkan. Pendekatan yang berbasis komunitas (community-based voter education) terbukti lebih efektif dibandingkan metode konvensional yang berpusat pada institusi. Faktor Non-Struktural dan Konteks Sosial Selain faktor teknis dan kelembagaan, partisipasi pemilih juga dipengaruhi oleh faktor non-struktural yang bersifat psikologis dan sosial. Berdasarkan laporan riset Bawaslu (2021), kejenuhan sosial akibat pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19 menjadi salah satu pemicu meningkatnya antusiasme masyarakat untuk kembali beraktivitas publik melalui partisipasi politik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perilaku memilih bukan hanya tindakan politik rasional, tetapi juga bentuk ekspresi sosial. Dalam konteks Pilkada 2020, partisipasi politik menjadi wadah bagi masyarakat untuk “kembali hadir” di ruang publik setelah lama terkekang oleh pembatasan sosial. Dengan kata lain, ada elemen psychological release yang memengaruhi perilaku elektoral. Selain itu, kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu (trust in electoral management) juga menjadi variabel penting. Ode et al. (2021) menemukan bahwa meningkatnya kepercayaan publik terhadap kesiapan KPU dalam menerapkan protokol kesehatan secara langsung meningkatkan kehadiran pemilih di TPS. Hal ini membuktikan bahwa dimensi kepercayaan (trust dimension) memiliki efek psikologis yang signifikan terhadap perilaku partisipasi. Interaksi Antar Variabel dan Analisis Kebijakan Hasil pemodelan juga menunjukkan adanya interaksi antar variabel yang memperkuat efek keseluruhan terhadap partisipasi. Misalnya, kampanye yang dilakukan secara masif namun tidak diimbangi oleh sosialisasi edukatif cenderung menghasilkan partisipasi jangka pendek, bukan kesadaran politik berkelanjutan. Sebaliknya, sosialisasi yang intensif tanpa dukungan kampanye informatif akan sulit menjangkau kelompok pemilih pasif atau apatis.  Oleh karena itu, upaya peningkatan partisipasi harus dilakukan melalui pendekatan integratif dan sinergis. KPU dan peserta pemilu perlu membangun ekosistem partisipatif di mana setiap tahapan — registrasi, pencalonan, kampanye, dan sosialisasi — saling memperkuat. Model policy intervention yang disarankan adalah: Intervensi vertikal, berupa peningkatan kebijakan fasilitasi kampanye, penguatan peraturan tentang akses informasi pemilih, serta peningkatan kualitas logistik kampanye oleh penyelenggara. Intervensi horizontal, yaitu kolaborasi multipihak antara KPU, lembaga pendidikan, media, ormas, dan komunitas pemuda untuk memperluas basis pendidikan politik. Jika diterapkan secara konsisten, kedua strategi ini akan mendorong peningkatan partisipasi yang tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga substantif — yakni partisipasi yang disertai pemahaman, kesadaran, dan rasa memiliki terhadap demokrasi. IImplikasi Akademik dan Praktis Dari sisi akademik, hasil penelitian ini memperkuat argumentasi bahwa partisipasi politik merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor struktural (kebijakan, lembaga) dan faktor non-struktural (sosial-psikologis). Pendekatan komputasional berbasis IPP memungkinkan analisis partisipasi dilakukan dengan presisi dan prediksi kuantitatif yang dapat diandalkan. Sementara itu, secara praktis, temuan ini dapat menjadi dasar bagi KPU untuk: Menggunakan model IPP sebagai alat bantu perencanaan dan prediksi partisipasi sebelum hari pemungutan suara. Menentukan prioritas kebijakan pada dua variabel kunci (kampanye dan sosdiklih) dengan dukungan data empiris. Mengembangkan dashboard IPP berbasis machine learning untuk memantau perkembangan partisipasi di tingkat provinsi/kabupaten. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya menjelaskan fenomena, tetapi juga memberikan kontribusi strategis terhadap peningkatan kualitas demokrasi elektoral di Indonesia.

Publikasi