Pemilihan Kepala Daerah, masihkah milik rakyat?

          Bergulirnya wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan kembali lagi dipilih oleh DPRD dimulai sejak pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo pada perayaan HUT Partai Golkar 12 Desember 2024. Presiden Prabowo mengangkat ide bahwa Pilkada langsung dianggap terlalu mahal dan membandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura yang memilih kepala daerah melalui DPRD. Wacana ini kembali mencuat setelah Muhaimin Iskandar berpidato mengusulkan pilkada dipilih langsung oleh pusat atau DPRD, saat peringatan Hari Lahir (Harlah) ke- 27 PKB, yang dihadiri pula oleh Presiden Prabowo. Ungkapan dengan nada yang sama juga disuarakan oleh partai-partai pendukung pemerintah lainnya termasuk menteri dalam negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa Presiden Prabowo telah mengungkap keinginan tersebut dalam beberapa kesempatan, jadi bukan pernyataan sekali saja.

          Wacana Pilkada melalui DPRD sebenarnya bukan hal yang baru. Pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah disebutkan dalam Pasal 3 UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan bahwa Pilkada dapat dilakukan melalui DPRD. Namun, kebijakan tersebut mendapat kritik dan penolakan yang masif dari publik, sehingga tidak jadi direalisasikan. Wacana serupa kemudian muncul kembali pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai upaya mengatasi kelemahan Pilkada langsung, seperti tingginya biaya politik, praktik politik uang, dan konflik sosial.

          Pro kontra terhadap wacana pilkada tidak langsung mencuat ke publik. Beberapa pihak mengungkapkan dukungan terhadap pelaksanaan pilkada tidak langsung. Salah satu alasan paling sering dikemukakan adalah bahwa pilkada langsung sangat mahal untuk negara dan untuk calon. Dengan memilih lewat DPRD, biaya untuk logistik, kampanye, penyelenggaraan TPS, pengawasan, dan tahapan pemungutan suara bisa ditekan secara signifikan. Sejumlah tokoh menganggap bahwa pilkada langsung membuka ruang yang besar bagi praktik politik uang (money politics). Selain itu ada kekhawatiran bahwa dalam pilkada langsung, petahana atau calon dengan kekuasaan bisa menggunakan aparatur negara (ASN) atau fasilitas pemerintahan untuk mendukung kampanye mereka, yang dapat mengganggu prinsip keadilan dan netralitas. Maka, mekanisme lewat DPRD dianggap bisa lebih mengurangi tekanan semacam itu.

          Pandangan berbeda juga banyak disuarakan oleh berbagai pihak yang melihat pelaksanaan pilkada tidak langsung merupakan kemunduran dan bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Hak pilih rakyat dikebiri sehingga legitimasi dari kepala daerah menjadi lemah. Pilkada tidak langsung juga tidak menjamin politik uang hilang hanya bergeser menjadi politik transaksional yang efeknya juga sama buruknya. Peluang oligarki partai dan transaksi di belakang layar akan lebih besar. Penentuan calon oleh segelintir anggota DPRD bisa memperkuat elite politik, bukan mewakili kehendak rakyat.

          Lalu bagaimana Komisi Pemilihan Umum merespon hal ini? Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menyebut bahwa wacana kepala daerah dipilih DPRD adalah bagian dari diskusi atau diskursus yang wajar dalam demokrasi, sebagai refleksi penyelenggaraan Pilkada. KPU tidak serta-merta mendukung atau menolak wacana tersebut, melainkan menyerahkan pada proses evaluasi dan mekanisme aturan yang berlaku. Sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan pilkada, maka dalam pelaksanaannya nanti, KPU akan menjalankan apa yang menjadi amanat undang-undang terkait pemilihan kepala daerah. KPU juga mendorong agar wacana tersebut dibahas dalam revisi undang-undang pemilu atau paket undang-undang politik dalam rangka mengakomodasi perubahan yang ideal.

          Perdebatan mengenai wacana pilkada tidak langsung mencerminkan dinamika demokrasi yang terus berkembang di Indonesia. Baik pihak yang mendukung maupun yang menolak memiliki dasar argumentasi yang berangkat dari kepentingan memperkuat tata kelola pemerintahan daerah dan kualitas demokrasi. Namun, yang paling penting adalah memastikan bahwa setiap perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah tetap berpihak pada rakyat, menjaga akuntabilitas, serta menjamin terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan responsif terhadap kebutuhan publik. Pada akhirnya, arah kebijakan Pilkada langsung ataupun tidak langsung seharusnya diputuskan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, efektivitas penyelenggaraan, dan konsistensi terhadap nilai-nilai demokrasi konstitusional.

Karawang, 15 Oktober 2025 

Steviana
Penata Kelola Sistem dan Teknologi Informasi

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 119 Kali.