Komunikasi Antarbudaya dalam Konteks Pemilu di Indonesia

Pemilu di negara multikultural menghadirkan tantangan komunikasi di tengah keragaman budaya, etnis, bahasa, dan nilai. Komunikasi politik dan kampanye yang efektif membutuhkan strategi yang sensitif terhadap perbedaan budaya untuk memastikan partisipasi luas dan inklusif. Sebab, keberagaman tersebut tidak hanya menjadi latar demografis, tetapi juga memengaruhi cara masyarakat menerima, menafsirkan, dan merespon pesan politik.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, masyarakat terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, dan budaya. Pemilu sebagai mekanisme demokrasi melibatkan seluruh elemen masyarakat tanpa kecuali. Agar pemilu berjalan adil dan representatif, penting bahwa komunikasi politik dan kampanye mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok minoritas atau komunitas dengan budaya berbeda.

Namun, keberagaman budaya dapat menjadi tantangan. Bahasa, norma budaya, kepercayaan, dan cara komunikasi yang berbeda dapat menyebabkan kesalahpahaman, eksklusi, atau rendahnya partisipasi. Oleh karena itu, pendekatan komunikasi antarbudaya (intercultural communication) menjadi relevan dalam konteks pemilu dan kampanye politik.

Dari beragam literatur yang membahas interaksi antara komunikasi antarbudaya dan pemilu, memahami faktor dan strategi komunikasi apa yang dapat digunakan untuk menangani keragaman budaya dalam kampanye dan sosialiasi pemilu menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam merumuskan pendekatan yang cocok untuk menarik perhatian dan dukungan masyarakat.

Komunikasi Berbasis Budaya Lokal dalam Kampanye dan Sosialisasi

Anshori (2025) mengungkapkan, kampanye berbasis budaya lokal dengan adaptasi simbol, bahasa, gaya komunikasi sesuai komunitas etnis, efektif meningkatkan resonansi dan keterlibatan di kalangan masyarakat plural. Hal ini relevan di negara beragam secara etnis seperti Indonesia.

Misalnya, kandidat/partai yang memadukan nilai-nilai budaya lokal, simbol, dan ritual komunitas ke dalam kampanye mereka cenderung memperoleh “legitimasi simbolik” dan resonansi emosional lebih kuat dari pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa kampanye tidak bisa menerapkan pola “satu gaya untuk semua”.

Dengan kata lain, kampanye yang “menggunakan budaya lokal” mampu menciptakan rasa kedekatan dan relevansi bagi komunitas target. Namun jika simbol atau budaya lokal “dipolitisasi” secara eksploitatif, pesan kampanye bisa memancing sentimen identitas, etnisitas atau agama, bukan inklusivitas. Hal ini terkait dengan dinamika identitas politik, kelompok mayoritas dan minoritas, serta potensi konflik.

Sejalan dengan hal tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara Pemilu juga perlu mengadopsi pola komunikasi yang berbasis budaya dalam setiap sosialisasi yang dilakukan. Samosir (2023) menekankan pentingnya komunikasi antarbudaya dalam sosialiasi pemilu, terutama untuk menjangkau masyarakat yang beragam budaya, supaya pesan demokrasi dan hak pilih dapat dipahami universal.

Salah satu tujuan utama sosialisasi pemilu adalah meningkatkan partisipasi masyarakat, agar demokrasi lebih representatif dan inklusif. Komunikasi antarbudaya memegang peran penting dan bukan sekadar strategi, tetapi bagian dari upaya demokratisasi yang adil, di mana semua kelompok budaya mendapat akses informasi, pemahaman, dan kesempatan untuk berpartisipasi.

Dengan demikian, kompleksitas pluralitas menuntut strategi komunikasi yang adaptif, tidak hanya memakai bahasa nasional atau nasionalisme umum, tetapi juga menghargai dan menjembatani keragaman budaya, simbol, dan identitas lokal.

Hubungan Personal, Peran Subkultur dan Komunitas Multikultural

Hutomo dkk. (2024) menunjukkan bahwa interaksi langsung antara calon/ politisi dengan pemilih (tatap muka, wawancara, dialog) berdampak besar dalam membangun kepercayaan dan mempengaruhi keputusan memilih. Sehingga pendekatan antarbudaya yang dilakukan melalui komunikasi interpersonal, kunjungan langsung, dan interaksi kelompok, bentuk komunikasi “model lama” yang tetap relevan dalam konteks masyarakat multikultural.

Komunikasi langsung, silaturahim, kunjungan komunitas/kelompok etnis, door-to-door, lebih efektif diterapkan terutama di komunitas tradisional atau dengan literasi politik rendah. Karena komunitas dengan literasi politik rendah atau keterbatasan akses informasi, bisa sulit dijangkau dengan gaya komunikasi modern yang mengedepankan kampenye digital.

Dalam masyarakat plural, satu pesan belum tentu relevan untuk semua kelompok. Menyesuaikan pesan ke banyak budaya berbeda bisa sangat efektif, meskipun kompleks secara operasional. Hal ini perlu dipertimbangkan agar pesan tidak hilang makna.

Sementara itu, Riswandi (2019) menemukan bahwa subkultur (etnis, komunitas) mempengaruhi pola dukungan. Kelompok berbeda memberi preferensi berbeda terhadap kandidat, serta komunikasi nonverbal dan simbol budaya memengaruhi orientasi pemilih.

Oleh karena itu, penggunaan kerangka komunikasi yang inklusif, menghindari pesan yang eksklusif (etnis, agama, identitas tertentu), serta membangun narasi identitas bersama/nasionalisme plural menjadi sangat penting. Terutama di area masyarakat terisolasi, minoritas, atau komunitas marginal.

Komunikasi yang sensitif budaya, serta pendekatan interpersonal dan komunitas, membantu menurunkan apatisme atau ketidakpercayaan terhadap proses pemilu. Kandidat/partai politik perlu merancang kampanye yang sensitif budaya dan bukan hanya satu gaya universal, tetapi disesuaikan dengan komunitas target.

Praktik Komunikasi Publik dalam Menguatkan Partisipasi

Dengan semakin meluasnya akses internet dan media sosial di kota maupun daerah, potensi untuk menjangkau masyarakat pemilih semakin besar, jika strategi komunikasi dilakukan dengan sensitif budaya. Namun, jika salah kelola, risiko eksklusif, polarisasi identitas, atau manipulasi identitas budaya untuk tujuan politik pun meningkat.

Indonesia sebagai negara dengan pluralitas tinggi menghadapi tantangan besar dalam demokrasi agar tidak hanya mencerminkan mayoritas, tetapi juga memberi ruang bagi keberagaman. Komunikasi antarbudaya dalam pemilu menjadi salah satu kunci agar demokrasi bisa inklusif, representatif, dan adil. Untuk itu, dibutuhkan peran dari Public Relations (PR) yang mampu memahami keragaman budaya masyarakat agar dapat menyampaikan pesan politik dengan baik.

Okour & Alhammad (2025) menegaskan bahwa PR politik yang baik (komunikasi inklusif, transparan, representative) dapat meningkatkan engagement dan trust publik terhadap pemilu. Strategi komunikasi politik dalam pemilu harus dipahami sebagai proses intercultural, dimana baik penyelenggara pemilu dan kandidat/partai perlu “menyambungkan” politik dengan budaya pemilih agar pesan diterima, dimengerti, dan dirasakan relevan.

Kemampuan PR dalam menyesuaikan media (tradisional dan modern) serta bahasa atau simbol komunikasi sesuai kelompok/komunitas sasaran, menjadi penting karena perbedaan budaya dapat memengaruhi persepsi terhadap pesan. Terlebih lagi, seiring kemajuan teknologi, konteks pemilu telah berubah dan tidak lagi hanya tatap muka atau kampanye/sosialisasi tradisional, tetapi melibatkan media digital, media sosial, dan komunikasi daring.

Kombinasi antara komunikasi antar budaya tradisional (tatap muka, komunitas) dengan kampanye digital memungkinkan jangkauan luas tanpa mengorbankan sensitivitas budaya, misalnya penerjemahan pesan ke bahasa lokal, penggunaan simbol budaya dalam media digital, atau narasi inklusif yang menghargai pluralitas.

Implikasi Praktis bagi Pemangku Kepentingan di Pemilu

Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa implikasi praktis yang dapat dirumuskan antaralain partai politik dan kandidat perlu merancang kampanye yang sensitif budaya, bukan hanya satu gaya universal, tetapi disesuaikan dengan komunitas target (secara bahasa, simbol, saluran komunikasi, dan gaya interaksi).

Lembaga penyelenggara pemilu perlu memasukkan pendekatan komunikasi antarbudaya dalam edukasi pemilih, sosialisasi hak pilih, khususnya di komunitas dengan budaya berbeda atau terpencil. Semantara untuk masyarakat multikultural, media kampanye harus inklusi dengan menggunakan representasi simbol dan budaya lokal yang positif, menghindari eksklusi, stereotip, atau mobilisasi identitas sempit.

Dalam era digital, adaptasi pesan ke media sosial, aplikasi, dan saluran daring harus mempertimbangkan aspek budaya dan identitas, agar pesan tetap relevan, dimengerti, dan tidak menimbulkan resistensi. Sehingga penting untuk mengembangkan model komunikasi politik interkultural baru yang memadukan teori komunikasi antarbudaya, media digital, dan dinamika politik kontemporer.

Putra M. Wifdi Kamal

Anggota KPU Kabupaten Karawang 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 104 Kali.